Senin, 12 April 2010

MASALAH UTAMA DALAM KEGAGALAN PEMBANGUNAN DI PAPUA

Masalah Utama Kegagalan Pembangunan di Papua
Jika kita melihat kembali akar permasalahan di Papua maka secara substansial adalah masalah kemerdekaan, baik persoalan kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). Kedua persoalan ini menjadi penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama hampir 40 tahun sejak berintegrasi.

Pertama, Persoalan kemerdekaan politik (trauma historisme), Konflik politik di Papua ini tidak begitu jatuh dari langit, ada akar historisnya dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa -demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang disebut PEPERA , dilaksanakan dibawah tekanan Indonesia, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif, hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, muncullah ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara , rakyat disekrin, dipaksa tandatangani, diinstruksi, tidak boleh ini harus begitu dan seterusnya dan seterusnya, praktik teror oleh klik-klik misterius agar menerima, menghormati, taat dan tunduk pada simbol-simbol negara-kebangsaan (nation-state). Rakyat diliputi rasa ketakutan totaliter. Karena itulah sepanjangh berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.
Kedua, Persoalan Kemerdekaan Sosial Ekonomi (Disparitas Ekonomi dan Sosial. Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam yang tiada tara nilainya, namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Indonesia sudah mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya namun orang Papua (gunung) sedang berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu. Itu salah siapa? Mengapa mereka diintegrasikan kalau Jakarta tidak ingin membangun mereka? Dunia telah mengetahui bahwa manusia jaman batu itu ada di bumi Papua dan Papua adalah INDONESIA. Sejak awal integrasi, pemerintah Jakarta memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial. pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana pra sarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang tidak pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996 77% desa di Irian Jaya berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT dan pada tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua miskin. Sebagian besar orang Papua adalah bertani dan sayangnya sebagian tanah pertanian telah dikaplingkan oleh para penguasa misalnya pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar tanah di Papua dimiliki oleh negara seluas 1.528.277 ha 993,36%) sehingga rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman yang basah karena itu dikawatirkan masa depan anak cucu yang akan merana diatas tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan mengandalkan pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat lokal, pengiriman tenaga trampil dari luar dengan mengesampingkan tenaga kerja lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih kecil dari seharusnya menjadi pemicu kesenjangan teritama PT. Freeport Indonesia. Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi antara lain; tingkat harapan hidup diperpendek, tinggkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit meraja lela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial budayanya maka adagiun menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu.

By (Tinus Pigai) sumber: Decky BIK

MASALAH UTAMA DALAM KEGAGALAN PEMBANGUNAN DI PAPUA

Gambaran Kegagalan Pembangunan di Papua
Secara etno biologis Penduduk Papua merupakan suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Berada di ujung Timur Indonesia, hidup di tengah keterasingan dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau modernisasi.

Kenyataan menujukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif membuat masyarakat berada dalam tarap hidup yang cukup memprihatinkan, seolah-olah mereka pemilik keterisolasian dan kemiskinan. Pada saat ini juga sebagian besar orang Papua yang masih berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan mereka, maka oleh mereka yang merasa diri maju disebut penduduk primitif, jaman batu, kaum peramu, penduduk terasing dan masih banyak lagi stigma yang diberikan. Ada ciri-ciri khusus yang menandai kegagalan pembangunan di papua diantaranya adalah:
1.Papua merupakan salah satu daerah yang terpencil, memiliki laut dan Pantai, memiliki topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi.
Diselimuti hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi alpenik.
2.Jumlah penduduknya kurang banyak yakni 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun 1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami petumbuhan penduduk minimal (minimizing zero growth). Mereka bermukim terpencar dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah.
3.Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat darurat hidup dalam honai/ owa, pola konsumsi mereka sangat tidak teratur, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana (koteka) dan pola perekonomian subsisten.
4.Kondisi sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif rendah, tinggat kesehatan dan gizi rawan, tingkat penguasaan teknologi rendah.
5.Pengembangan perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya wawasan berfikir rakyat maupun juga penyadaran pada masyarakat, termasuk juga karena kurangnya insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh di daerah pedalaman, terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi dilakukan melalui udara. Tersendatnya pembangunan jalan trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.

By (Tinus Pigai) sumber: Decky BIK

Senin, 16 November 2009

Papua berharap dapat uang tunai dengan REDD

Papua, di bagian timur Indonesia, adalah provinsi paling siap untuk melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) skema, pemerintah propinsi telah diklaim. Hal ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar hutan, yang memiliki kapasitas untuk menyimpan 400 ton karbon per hektar, serta tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, para pejabat menambahkan. Namun, pemerintah propinsi masih harus menunggu persetujuan dari Jakarta dalam bentuk kebijakan yang mendukung dan peraturan tingkat nasional sebelum pelaksanaan proyek REDD.

Kepala Badan Papua Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BPSDALH), Noak Kapisa, mengatakan hari Jumat bahwa provinsi, bersama dengan provinsi tetangga Papua Barat, sedang menunggu otorisasi pemerintah pusat dan peraturan yang rinci mekanisme REDD. "Tentu saja, kami ingin kebijakan yang jelas dan peraturan kegiatan REDD dan insentif," Noak kepada The Jakarta Post pada empat hari Keanekaragaman Hayati Internasional Konferensi Pembangunan Berkelanjutan di Jayapura. Noak menjelaskan administrasi Papua adalah mengusulkan bahwa lebih banyak insentif dari kegiatan REDD akan dialokasikan untuk masyarakat setempat.

"Kesepakatan awal adalah bahwa para pembuat kebijakan di pusat * administrasi * akan memperoleh insentif persentase lebih tinggi daripada orang-orang di tingkat provinsi. Tapi kami sangat mendesak pemerintah untuk memberikan insentif tambahan kepada masyarakat lokal - orang-orang yang secara langsung terlibat dalam kegiatan REDD, "tambahnya. Dia mengatakan, inisiatif yang diambil oleh pemerintah Papua untuk melestarikan lingkungan dan budaya yang berakar dalam otonomi khusus Papua hukum dan peraturan daerah khusus .. "Undang-undang otonomi khusus memberi hak masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam mereka, sedangkan peraturan khusus sepenuhnya mendukung penggunaan masyarakat lokal serta pengelolaan hutan. Karena mereka tinggal di dalam atau dekat hutan," tambah Noak, yang juga ketua keanekaragaman hayati dari panitia konferensi.

Papua adalah ditutupi oleh hamparan terbesar utuh hutan hujan tropis di Asia Tenggara. Hutan meliputi lebih dari 42 juta hektar, atau 24 persen dari total Indonesia kawasan hutan yang tersisa. Sejumlah 85 persen dari hutan Papua diklasifikasikan sebagai hutan utuh, terdiri dari campuran antara Asia dan Australia yang unik spesies tanaman. Hampir 60 persen dari populasi mamalia di Papua adalah endemik pulau, seperti lebih dari 40 persen burung Papua. Lebih dari 47 persen hutan Papua diklasifikasikan sebagai hutan hujan dataran rendah, yang membuat rumah untuk provinsi terbesar tracts sisa hutan dataran rendah di Indonesia. Sejumlah 57 persen dari hutan produksi Papua, yang mencakup lebih dari 9,2 juta hektar, telah dialokasikan sampai 38 skala besar konsesi hutan (HPH) pemegang. Banyak dari konsesi kayu ini telah menjadi tidak aktif dalam beberapa tahun belakangan dan akibatnya produksi kayu telah menurun.

Papua Noak mengatakan pemerintah akan meninjau semua HPH dan mencabut izin HPH yang tidak aktif. "Kami berharap bahwa Papua akan memberikan buku contoh bagi negara mana pun berencana untuk menerapkan skema REDD," katanya, menekankan kebutuhan masyarakat lokal untuk pelatihan untuk mendukung pelaksanaan skema.

Sejalan dengan ide Noak, beberapa orang Papua yang berpartisipasi dalam konferensi mengatakan bahwa berbasis di Jakarta dan pemerintah pusat harus memberikan kesempatan masyarakat lokal untuk mengembangkan diri dalam rangka membangun Papua yang lebih baik. "Pendukung Papua dalam mengembangkan diri adalah langkah yang tepat. Memberikan Papua tanggung jawab untuk belajar dan mengambil alih kepemilikan inisiatif mereka sendiri berarti kita dapat menghancurkan persepsi bahwa Papua tertinggal dari provinsi-provinsi lain dalam hal pembangunan," Papua Wakil Ketua Dewan Legislatif Frans Wospakrik berkata.

Source : Jayapura, Papua | Sabtu, 11/14/2009 / Jakarta Post

Konferensi keanekaragaman hayati papua diharapkan akan menghasilkan tindakan nyata

Papua pertama Konvensi Keanekaragaman Hayati Internasional untuk pembangunan berkelanjutan, yang berlangsung dari Selasa sampai Sabtu, diharapkan akan menghasilkan rekomendasi berbuah termasuk peta jalan untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen bulan depan.

Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan hari Kamis konvensi diadakan di Jayapura ini diharapkan dapat memberikan inspirasi aksi nyata dalam rangka untuk membawa ide-ide segar untuk UNFCCC. Ini [acara] adalah salah satu langkah antara UNFCCC di Bali pada 2007 dan Kopenhagen konvensi. "Gagasan kami dalam penyelenggaraan acara empat hari berlaku adalah untuk menghasilkan langkah-langkah dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, khususnya dalam membangun pembangunan berkelanjutan di Papua. Hasil dari konvensi ini akan dipresentasikan pada Kopenhagen untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Papua adalah mampu menangani isu-isu lingkungan, terutama dalam mengurangi emisi dan mitigasi dampak perubahan iklim global. Indonesia kini sangat bergantung pada hutan Papua untuk keanekaragaman hayati dan suplai oksigen. Oleh karena itu, konvensi akan menekankan pelestarian hutan Papua. Namun, dari sekitar 8 juta hektar hutan yang dialokasikan untuk konversi, kita mungkin akan menggunakan hanya satu juta hektar. Papua memiliki total 41.25 juta hektar hutan. Sekitar 50 persen dari total kawasan hutan dialokasikan sebagai kawasan konservasi; 30 persen adalah untuk hutan produksi dan sisanya 20 persen disediakan untuk konversi hutan. Dalam maintainaing Papua'forest Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan bahwa Papua telah mulai menerapkan kebijakan untuk menanam 10 pohon untuk setiap pohon ditebang. Di bawah kebijakan ini, rakyat Papua akan mulai mencari nafkah dari menanam dan memelihara pohon, bukan penebangan mereka saat mereka kerjakan. Selain itu, lahan yang dikonversi dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit yang akan dikelola secara lestari untuk menghindari kerusakan ekosistem hutan.

Source : Jayapura, Papua | Sabtu 11/13/2009 |

Jumat, 06 November 2009

Pemerintah memberikan perhatian di Perbatasan RI-PNG

Sekitar 15 desa di Kabupaten Keerom telah mengirimkan informasi penerima dari Jurusan komunikasi. Dengan perangkat, orang-orang yang tinggal di Keerom dapat menonton televisi dan mengikuti semua informasi. Ini adalah bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemakmuran di perbatasan RI-PNG. Keerom's Bupati Drs. Celsius WATAE mengatakan bahwa perangkat penerima radio dan televisi ini sangat berguna untuk orang-orang yang tinggal di daerah perbatasan.

Nopember 5,2009 / PT

Senin, 28 September 2009

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus untuk pembangunan Papua

Pembangunan di Indonesia timur propinsi Papua akan diberikan perhatian khusus oleh pemerintah pusat dalam periode 2009-2014, Vice President terpilih Boediono mengatakan di Jakarta, Senin.

"Saya ingin mendapatkan informasi tangan pertama mengenai kondisi nyata di Papua, terutama di Pegunungan Tengah dan wilayah perbatasan, sehingga pemerintah pusat dapat membuat rencana pembangunan yang tepat untuk provinsi," Boediono mengatakan kepada wartawan selama berhenti-over di Mozes Kilangin bandara di sini.

Boediono mengakui bahwa ia belum pernah ke Papua sebelumnya, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh transportasi darat. Vice President yang terpilih mengatakan bahwa untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah terpencil di Papua, infrastruktur jalan yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain harus dibangun. Selain membangun infrastruktur jalan, katanya, pemerintah pusat juga akan mendorong pemerintah kabupaten dan kota di provinsi untuk memberikan perhatian khusus untuk pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan. Dia juga dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan sembilan bupati dan Gubernur Papua Barnabas Suebu di kota kabupaten Jayawijaya Wamena pada hari Selasa dan Rabu sebelum melanjutkan ke Tanah Merah di Boven Digoel distrik di mana dia akan mendedikasikan Sue pelabuhan.

Sementara itu, Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe menyatakan harapan bahwa pemerintah pusat akan membangun jalan dari Yuguru ke Abema di salah satu daerah pegunungan di Papua. Jarak antara Yuguru di perbatasan Kabupaten Mimika dan Asmat, dan Abema di kabupaten Jayawijaya adalah sekitar 140 kilometer, sementara rute antara Jayapura dan Wamena adalah sekitar 500 kilometer. Jalan yang menghubungkan Jayapura dan Wamena yang telah dibangun sejak tahun 1980-an belum selesai karena pengkhianatan dan daerah pegunungan. Lukas Enembe mengatakan pembangunan bekicot-mondar-mandir di wilayah pegunungan di Papua adalah karena kurangnya sarana transportasi.

Sumber : ANTARA News

Selasa, 27 Januari 2009

Kawasan Konservasi Laut Daerah Kaimana Diresmikan

Jum'at, 28 November 2008 - 08:13 AM
Kaimana, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di Kabupaten Kaimana, Papua Barat seluas 597.747 hektare, Senin, diresmikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. Dalam sambutan peresmiannya, menteri mengatakan, pembentukan kawasan itu merupakan langkah strategis yang dilakukan oleh kabupaten Kaimana dalam penyelamatan lingkungan laut.
Unduh - Lirik - Sang Saka by Patriot